Tuesday, October 26, 2010

Kemana Perginya


Sudah dua minggu sejak piano di rumah sebelah itu dipindahkan. Dan aku memang tidak pernah lagi mendengar lagu sedih yang menenangkan itu dimainkan. Aku merasa kehilangan.

Dan anehnya, Zimiko juga tidak pernah lagi meneleponku. Padahal aku ingin sekali bercerita tentang segala keanehan ini. Keanehan tentang piano misterius & telepon nyasar.


==============================

Dengan perasaan kesal kulempar ponselku ke kasur. Aku baru saja pulang dari kantor ketika memergoki pacarku selingkuh. Perasaanku yang kacau balau semakin absurd tatkala sampai di rumah diganggu lagi oleh telepon nyasar. Sebal!

Kurebahkan diri sambil menghela nafas panjang. Airmataku menetes dalam diam, mencoba menenangkan diri, menghapus bayang-bayang kejadian sore tadi.

Aku hampir terlelap saat kudengar dentingan piano dari rumah sebelah. Deretan rumah di sini memang berjarak cukup dekat, hingga terkadang kita bisa mendengar tetangga sebelah mengobrol atau menonton televisi.

Aku baru tahu kalau ada yang bisa bermain piano di kompleks ini. Aku memang tidak terlalu mengenal para tetanggaku. Sejak kembali setelah lulus kuliah diluar kota dan bekerja di sini, waktuku selalu habis di kantor. Kalaupun sedang di rumah, aku jarang keluar untuk sekedar bercengkrama dengan tetangga. Biasanya aku hanya berdiam diri di kamar. Kalau kata Ibu, aku seperti anak autis.
 
“Hmm..” gumamku sambil memejamkan mata menikmati. Suaranya menenangkan. Tapi siapa ya yang memainkannya? Lagunya sendu. Sepertinya sang pianis sedang sedih atau merasa kesepian. Beberapa menit lamanya lagu itu memenuhi otakku. Lagu yang tidak pernah aku dengar sebelumnya. Namun, tiba-tiba saja lagu itu berhenti. Suasana seketika senyap kembali.

Ponselku berdering memecah keheningan. Aku meraba-raba sekitar kasur untuk mencari keberadaan ponselku. Nomor yang tertera di layarnya tidak kukenal, tapi aku tetap mengangkatnya.

“Halo,” sapa suara di seberang sana. Sepertinya aku pernah mendengar suara itu.

“Iya?!”.

“Ini yang tadi salah sambung ya?” tanyanya.
Aku terbelalak. Kaget! Pantas saja aku mengenal suaranya. Kan baru beberapa menit yang lalu dia salah sambung.

“Tadi kan udah dibilang, ini bukan nomornya Budi,” jawabku.

“Maaf, tapi boleh gak kita bicara? Aku lagi ngerasa kesepian,” katanya.

Aku kaget. “Oh, boleh..” kata-kata itu terlontar begitu saja dari mulutku.

“Terima kasih. Maaf ya, kalo kamu gak suka, kamu boleh tutup telepon ini sekarang.” tambahnya.

“Kamu siapa sih?” tanyaku penasaran.

Liat aja di layar ponselmu,” jawabnya yakin.

Aku melihat ke layar. “Zimiko?” bisikku dalam hati. Kenapa bisa nomornya tersimpan di kontak? Rasanya aku tidak menyimpannya setelah menerima telepon "nyasar" darinya tadi.

“Baiklah Zimiko, jadi kenapa kamu kesepian?” lanjutku.

“Sebenarnya disini ramai, tapi entah kenapa aku bisa merasa kesepian. Biasanya setelah selesai main piano, aku langsung merasa lebih baik.”

“Main piano?” Pikiranku langsung tertuju pada suasana beberapa menit yang lalu.

“Ya. Aku punya tempat favorit bermain piano. Sangat menyenangkan, walau aku tak selalu bisa kesana kapanpun aku mau.”

“Kenapa?”

“Karena itu bukan tempatku lagi,” jawabnya singkat.

Aku mulai tertarik dengan orang ini. Ada sesuatu yang lain. Mungkin tidak dialami kebanyakan orang.

“Itu tempat apa?” tanyaku lagi.

“Dulu itu kamarku. Tapi sejak aku pergi, ada orang lain yang menempatinya. Aku tidak rela dia menempati ruang pribadiku, dan memiliki piano kesayanganku.”

“Kamu pergi? Kenapa pergi? Pindah?”

“Bukan. Hanya pergi ke suatu tempat.” jawabnya datar.

Dengan sedikit takut-takut, aku menyambung, “Aku juga suka mendengar piano, apalagi saat sedang sedih. Tapi aku tak bisa memainkannya.”

“Ya aku tahu."

“Tahu?”

“Iya. Caramu berbicara dan ketertarikanmu sudah menunjukkan bahwa kamu suka piano. Tidak semua orang bisa berekspresi seperti itu saat aku membicarakan piano pada mereka. Dan aku senang memainkan piano untukmu.”

“Senang jika bisa memainkan piano untukku?!” kataku meralat kalimatnya.

“Hm.. Ya, begitulah maksudku,” sahutnya tenang.

Demikianlah aku terus berbincang dengannya,. Sedikit bisa melupakan kejadian menyebalkan yang baru saja kualami.

***

Aku terbangun. Suara piano itu lagi. Beberapa hari ini aku selalu mendengarnya. Lagu yang dimainkan juga selalu bernuansa kesedihan. Tapi ia hanya memainkan satu lagu, terkadang dua, tak pernah lebih dari itu. Siapakah dia? Kenapa memainkan lagu sedih malam-malam begini?

Aku mencoba kembali memejamkan mata, tapi tak bisa. Jiwaku ikut terlarut dalam nada yang dimainkannya. Sepertinya dia punya skill yang baik. Karena itulah aku suka mendengar lantunan permainannya.

***

Lagu ini sudah beberapa kali dimainkannya. Bisa dibilang, lagu inilah yang paling aku suka. Entah kenapa.

Tak lama, lagu itu selesai. Aku kembali memejamkan mata. Tapi lagu berikutnya mulai menyusul dimainkan. Beberapa menit berlalu, lagu itu pun selesai.

Aku menunggu.

Ternyata aku salah. Malam ini dia memainkan lebih dari dua lagu. Saat suasana sudah kembali hening, aku tidak lagi bisa tidur. Menyebalkan!

Tiba-tiba aku ingat pada Zimiko. Sudah dua minggu sejak perkenalan via telepon itu. Selama itu pula ia selalu meneleponku. Aku menikmati saja, walau tak tahu bagaimana wajah & penampilan fisiknya. Tapi aku benar-benar suka ngobrol & menghabiskan waktu dengannya.

Aku mencari namanya di kontak ponselku. Zimiko. Ya! Itu namanya. Ini pertama kali aku memutuskan meneleponnya. Biasanya, dia yang selalu meneleponku.

Tak ada! Mencari lagi, mungkin aku lupa pernah mengganti namanya. Kucari nama Miko, Zimi, Iko, Ziko. Tak ada juga!

Ini aneh. Saat dia meneleponku kemarin, kontaknya masih ada.

***

Hari Minggu.

Pagi-pagi kulihat Ibu sedang menyirami tanaman kesayangannya di taman.

“Pagi, Bu,” sapaku sambil mendekati Ibu.

Ibu tersenyum. “Sudah bangun sayang?”

“Iya dong, Bu. Walaupun hari Minggu kan tetap harus bangun pagi.”

Ibu terus menyiram tanamannya. Aku beranjak mendekati ayunan, dan duduk sambil menikmati udara pagi.

Kulihat mobil pembawa barang di depan rumah sebelah. Tak lama, beberapa orang lelaki keluar membawa piano berwarna putih kusam seperti tidak terurus.

Bu Broto, pemilik rumah, melihat ke arahku, dan tersenyum. Aku membalas senyumannya.

“Mau dibawa kemana pianonya, Bu Broto?” Ibu bertanya pada perempuan setengah baya itu. Pertanyaan yang sebenarnya sangat ingin aku tanyakan.

“Mau dijual, Bu,” jawabnya sambil mendekat ke pagar pembatas rumah kami. Aku tetap diam dalam ayunan, mendengarkan percakapan mereka.

“Sayang sekali,” kata Ibu. “Dijual berapa?”

“Wah, tidak tahu juga, Bu. Saya nggak ikut ngurus. Anak saya yang ngurus.”

Anaknya? Anaknya yang pianis itu? Kenapa dia menjual pianonya? Apa ini ada hubungannya dengan empat lagu yang dimainkannya semalam? Mungkin saja itu semacam lagu perpisahan sebelum pianonya dijual. Aku mulai menebak-nebak, lalu kembali mendengarkan.

“Memangnya kenapa dijual, Bu? Bukannya itu piano kesayangan anak Ibu?” Tanya Ibu lagi.

“Iya. Sebenarnya saya juga berat menjualnya. Anak saya sangat menyayangi piano ini. Tapi sejak dia pergi, tak ada lagi yang memainkannya. Lagipula yang tertarik membelinya juga masih keluarga dekat. Jadi, saya masih bisa bernostalgia dengannya.”

Aku tercekat. Mencoba mencerna apa yang baru saja aku dengar. ‘sejak dia pergi, tak ada lagi yang main’?
Jadi yang aku dengar itu siapa? Yang semalam itu siapa?

“Masa sih, Bu? Akhir-akhir ini aku sering dengar piano itu dimainkan. Suaranya terdengar jelas sekali dari kamarku,” refleks aku berdiri dan mendekati pagar pembatas tempat Ibu dan Bu Broto bicara.

Kulihat Bu Broto kaget. “Itu tidak mungkin,” katanya.

“Iya.! Biasanya dia memainkan satu lagu, kadang-kadang dua. Tapi semalam dia main empat lagu,” lanjutku meyakinkan.

Bu Broto diam. Matanya berkaca-kaca.

“Ah, kamu ini ada-ada saja,” kata Ibu sambil menepuk pundakku. “Mari, Bu,” Ibu pamit pada Bu Broto, lalu pergi sambil menarik tanganku, menjauh dari pagar pembatas dan masuk ke rumah.

Kulihat Bu Broto juga masuk ke rumahnya.

“Kamu ini gimana sih!” Ibu menegurku.

“Gimana apanya?” Aku heran.

“Jangan suka ngomongin piano kayak gitu sama Bu Broto. Dia jadi ingat sama anaknya yang pianis itu,” Ibu menjelaskan.

“Iya, tapi aku benar-benar mendengar suara piano itu, Bu.”

Gak mungkin. Anaknya Bu Broto itu sudah meninggal waktu kamu kuliah di Bandung."

Aku terdiam.

Begitu Ibu beranjak ke dapur, aku bergegas ke kamar. Aku harus bicara dengan Zimiko. Aku harus cerita padanya. Ingin mendengar pendapatnya, apakah aku sudah gila? Mendengar sesuatu yang tidak didengar oleh orang lain. Tapi aku tak ingat nomornya.

Aku menunggu teleponnya sepanjang hari.

Tak ada!

Kenapa ia tidak menelepon?

***

Sudah dua minggu sejak piano di rumah sebelah itu dipindahkan. Dan aku memang tidak pernah lagi mendengar lagu sedih yang menenangkan itu dimainkan. Aku merasa kehilangan.

Dan anehnya, Zimiko juga tidak pernah lagi meneleponku. Padahal aku ingin sekali bercerita tentang segala keanehan ini. Keanehan tentang piano misterius & telepon nyasar.

============================== 

Cerpen? Sini!

Disadur dari
fiksimini RT @salmanaristo: “Ini yang tadi salah sambung?” | “Betul” | “Bisa kita bicara? Saya kesepian”

No comments:

Post a Comment


reaLLy happy to save your comment[s]...
^.^